Atas laporan dari beberapa kepala desa di pegunungan kepada raja, Dalem
Gelgel, pendeta istana dipanggil menghadap raja.
"Wahai Pendeta suci", ujar sang raja mengawali, "Saya menerima laporan
dari beberapa kepala desa kalau penduduk desanya jadi resah karena
kelakuan Anda".
"Mereka melaporkan kalau Anda telah menciumi beberapa gadis perawan
desa itu, beberapa hari belakangan ini. Apa benar begitu? Bila benar
begitu, ini sudah barang tentu akan sangat mencemarkan nama baik
istana", tegur sang raja.
"Wahai raja yang arif", hatur sang Pendeta, "memang betul begitu,
namun tidak benar seperti itu".
Mendengar jawaban dari sang Pendeta tentu saja raja sangat terkejut. Ia
terhenyak beberapa saat. Sejak kecil ia mengenal beliau sebagai seorang
pendeta suci yang sangat arif dan mulia. Ia tahu kalau beliau hidup
membujang hingga seusia ini, dan sama sekali tidak menunjukkan
ketertarikannya pada wanita. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apa
yang telah terjadi pada pendeta pujaan, yang adalah guru-nya ini?
Bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.
"Apa?", tanya raja mengulangi seakan-akan tidak percaya.
"Memang betul begitu, namun tidak benar seperti itu", sahut sang
Pendeta lagi sambil tersenyum nakal, senyum nakal yang persis sama yang
selalu beliau sunggingkan ketika sang raja masih sebagai seorang
pangeran mahkota dan dididik di ashram beliau, di sebuah hutan kecil di
tepi barat sungai Unda itu.
Ketika itulah, ketika melihat kembali senyum yang sangat akrab baginya
puluhan tahun lalu itulah raja tertawa terbahak-bahak untuk kemudian
tersenyum dan tertunduk malu. Ia kembali sadar kalau selama ini ia
telah banyak melupakan ajaran-ajaran luhur dari sang guru, karena
terlalu sibuk bergelut mengurusi tetek-bengek berbagai masalah
kepemerintahan yang menenggelamkan itu.
Tak berselang lama setelah kejadian itu, raja menyerahkan jabatannya
kepada putra mahkotanya, dan memasuki jenjang kehidupan vanaphrasta di
bawah bimbingan sang guru.
***
Demikianlah... guru dan siswa spiritualnya punya 'bahasa tersendiri',
yang mereka mengerti. Kalaupun kita ikut hadir disana, dan menyaksikan
langsung kejadiannya, besar kemungkinannya kita tak akan mengerti apa
yang mereka maksudkan, walaupun secara linguistik percakapan itu
menggunakan bahasa ibu kita sehari-hari yang sangat kita akrabi.
Apa sebetulnya yang dimaksudkan oleh sang Pendeta dengan: ...yang
membuat sang raja tertuntuk malu, dan akhirnya meninggalkan kehidupan
duniawinya yang megah itu? Mudah-mudahan dalam kesempatan lain kita
punya cukup waktu buat merenungkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.