assalamualaikum wr wb

Jumat, 04 Januari 2013

Kematian, bagian dari lautan kehidupan

"Katakan, Darvish, apa yang terjadi pada saat kematian?"—tanya seorang Sultan.
"Kematian? Kenapa menanyakan tentang kematian? Kenapa tidak tentang kehidupan? Lagipula, Sultan, begitu banyak alim ulama dan cendikiawan yang mengililingi Baginda. Mereka pandai menafsirkan ayat-ayat suci. Tanyakan kepada mereka."—jawab Sang Darvish, Sang master.
"Saya sudah menanyakan kepada mereka, dan jawaban mereka sangat tidak memuaskan."
"Ah, kalau begitu Baginda sedang mencari jawaban yang bisa memuaskan. Berarti, Baginda sudah memiliki pandangan. Lalu, setiap jawaban dicocok-cocokkan dengan pandangan itu. Rupanya, sementara ini tidak ada jawaban yang cocok dengan pandangan Baginda. Dan Baginda tidak puas."
Sang Sultan diam sejenak. Ia seorang pemimpin yang bijak dan memahami betul maksud Sang Darvish, "Mungkin, mungkin Darvish—mungkin demikian. Tetapi di atas segalanya, aku sedang mencari kebenaran."
"Mencari kebenaran, Aalam-Panaah (Pelindung Dunia—bhs. Persia)? 'Kebenaran'—Al-Haqq?"
"Ya, Kebenaran."
"Tetapi Kebenaran itu sangat menyilaukan. Seperti cahaya seribu matahari. Sanggupkah Baginda menatapnya?"
"Aku akan berusaha..."
"Baik, baik. Jika demikian, dengarkan! Kau bukan seorang Sultan; bukan pula Aalam-Panaah, karena sesungguhnya yang melindungi alam semesta adalah Kebenaran itu sendiri. Kau pun dalam perlindungannya. Kau tidak lebih baik daripada cacing yang hidup dan mati di kali."—suara Sang Darvish seperti petir.
Wajah Sang Sultan menjadi merah, tetapi ia berhasil menahan luapan amarahnya, "Terima kasih. Ya, Kebenaran itu sangat menyilaukan. Dan, untuk sesaat mataku pun hampir tertutup. Tetapi, aku masih sadar. Ya, aku tidak lebih baik daripada cacing yang lahir dan mati di kali. Itulah kebenaran diriku—kebenaran diri setiap insan, setiap makhluk hidup. Dibekali dengan kesadaran ini, layakkah aku mengetahui tetang kematian? Apa hakikat kematian?"
"Terbukti matamu bisa tahan silau. Tetapi, bagaimana dengan telingamu? Mampukah kedua telingamu mendengarkan Kebenaran? Suara Kebenaran melebihi suara geledek. Selaput telingamu bisa robek."
"Apa gunanya sepasang telinga yang tidak mampu mendengarkan Kebenaran? Biarkan selaput telingaku robek, aku tetap ingin mendengarkan Suara Kebenaran."—desak Sang Sultan.
"Baiklah, pada suatu ketika nanti aku akan datang ke istanamu, untuk menyampaikan Suara Kebenaran. Sekarang, pulanglah ke istanamu. Allah Haafiz—Semoga Allah melindungi kamu."—dan tanpa menunggu jawaban Sultan, Sang Darvish masuk kembali ke dalam gubuknya.
*****
Setahun kemudian, Sang Darvish mendatangi istana Sultan. Begitu diberitahu tentang kedatangan Darvish, Sultan pun bergegas ke gerbang utama untuk menjemputnya. Turut serta bersama Sultan, Sang Putra Mahkota—anak tunggal Sang Sultan. Mereka menyalami Sang Darvish, "Selamat datang. Silakan masuk Darvish."
"Tunggu dulu, biarkan aku memberkati putramu dulu."—kata Sang Darvish.
Lalu, ia menepuk-nepuk kepala pangeran seraya memberkatinya, "Kamu akan mati."
Sang Sultan seperti tidak mempercayai telinganya sendiri, "Apa?"
Di antara para menteri bahkan ada yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya.
"Apa yang kau katakan, Darvish? Untuk itukah kau datang ke sini? Untuk mengutuk anakku? Untuk menyumpahinya?"—Sang Sultan marah betul.
"Untuk mengutuk anakmu? Untuk menyumpahinya? Apa yang kau katakan, Sultan? Apa maksudmu?"—tanya si Darvish.
"Bukankah itu kutukan? Kata-katamu itu... oh semoga Allah mengampunimu! Bukankah kau menyumpahi anakku? Menyumpahi putra mahkota?"
"Kau keliru menafsirkan kata-kataku. Untuk apa aku harus mengutuk anakmu? Untuk apa aku harus menyumpahinya? Aku hanya memberikan sebuah pernyataan, 'Kau akan mati'. Dan pernyataanku itu berlaku bagi setiap insan, bagi setiap makhluk hidup. Yang lahir pasti akan mati. Aku hanya menyampaikan Kebenaran, Sultan. Kau pernah menanyakan, dan aku datang untuk menyampaikannya. Sultan, rupanya kau belum bisa menerima Kebenaran."
Sang Sultan mengenang kembali pertemuannya dengan Darvish itu. Ia masih ingat kata-kata Sang Darvish, "......bagaimana dengan telingamu? Mampukah kedua telingamu mendengarkan Kebenaran? Suara Kebenaran melebihi suara geledek. Selaput telingamu bisa robek."
Ia menundukkan kepalanya, "Benar, Darvish, kau benar... Suara Kebenaran melebihi suara petir, suara geledek. Selaput telingaku hapir robek."
"Itulah kebenaran. Pahit, sulit diterima. Hanya para pemberani yang bisa menerimanya. Dengarkan, Sultan—kematian itulah pintu menuju Kebenaran. Di balik kematian itu akan kau temukan Kebenaran. Kelahiran dan kematian ibarat ombak dalam lautan kehidupan. Sesaat ada, sesaat lagi tidak ada. Lautan kehidupan itulah Kebenaran, itulah Allah."
"Lautan Kehidupan, Kebenaran, Allah... Lalu untuk apa kelahiran ini? Untuk apa kematian ini? Untuk apa ada ombak?"
"Tanyakan pada laut, dan ia akan menertawakan kamu. Ombak? Ombak apa? Semuanya ini aku. Tidak ada yang terpisah dariku!"
Sang Sultan membisu. Ia baru sadar. Yang sedang ia hadapi bukanlah ombak—tetapi lautan kehidupan. Ombak tidak pernah berpisah dari laut. Yang melihat perpisahan adalah mereka yang belum menyatu, belum bersatu dengan laut. Mereka masih berada di pantai. Mereka merayakan munculnya ombak—itu yang mereka sebut "kelahiran". Lalu mereka menyayangkan lenyapnya ombak—itu yang mereka sebut "kematian". Padahal kelahiran itu tidak ada, kematian pun tidak ada. Yang ada hanyalah lautan kehidupan.
"Kenapa para alim-ulama, para cendikiawan tidak dapat melihat kebenaran itu?"—tanya Sang Sultan. Tetapi, sudah terlambat. Yang menjawab sudah tidak ada lagi. Sang Darvish sudah pergi. "Ah, aku terlambat lagi."—pikir Sang Sultan.
"Terlambat untuk apa?"—tanya tiupan angin yang kebetulan sedang lewat.
"Terlambat bertanya. Dan, sekarang Darvish itu sudah tidak ada. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
"Pertanyaan dan jawaban bagaikan kelahiran dan kematian. Dalam kelahiran ada kematian, dan dalam kematian ada kelahiran. Dalam pertanyaan ada jawaban, dan dalam jawaban ada pertanyaan."—sambil berkicau, seekor burung menjawabnya.
Seorang darvish, lalu tiupan angin, dan sekarang kicauan burung. Mereka semua sedang menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba, ia mendengar suara muezzin, "Allahu Akbar......"
Ya, Allah Maha Besar, Maha Luas...... Dan untuk terakhir kalinya, Sang Sultan bingung kembali. Kebingungan yang indah, yang manis, "Ke arah mana aku harus menoleh? Apa yang harus kujadikan kiblatku? Di mana-mana kulihat Wajah-Nya......"
*****
Tiupan angin menyebarkan ihwal kebingungan Sang Sultan. Kicauan burung menyampaikannya sampai ke pelosok-pelosok.
Sore itu, para alim-ulama dan cendekiawan berkumpul, "Sultan kita sudah dipengaruhi oleh seorang darvish yang tidak tahu-menahu tentang peraturan agama. Kita harus bersatu untuk menyingkirkan dia dari kekuasaan. Ia harus turun, karena sudah tidak layak menjadi pemimpin lagi. Ia menyangsikan peraturan agama tentang kiblat. Ia seorang murtad, kafir..."
Bersama, mereka mengeluarkan fatwa:
"Ketahuilah, rakyat yang saleh dan taat pada peraturan agama, bahwa yang memimpin kalian selama ini telah menyangsikan akidah agama. Oleh karena itu, ia tidak patut menjadi pemimpin lagi."
Kembali tiupan angin berlaga dan berita ini pun tersebar dalam sekejap. Sang Sultan yang masih bingung dan belum bisa menentukan kiblatnya mendengarkan pula. Lalu, tiba-tiba ia ketawa terbahak-bahak, "Ah, demikianlah Kebenaran.........."
Malam itu, ia meninggalkan istananya.
*****
Dalam pengembaraannya, pada suatu ketika ia bertemu dengan Sang Darvish. Tidak terjadi dialog apa pun. Mereka saling peluk-pelukan. Lalu, sesaat kemudian berpisah kembali. Masing-masing melanjutkan perjalanannya.....

Kekuatan Tanpa-Kekerasan

Pada tanggal 9 Juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.
Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama di orangtua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama- sama."
Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Mayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 5:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 6:00.
Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?"
Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu."
Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu.
Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."
Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah.
Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saja tidak pernah akan berbohong lagi.
Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi.
Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa-kekerasan.
1Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K. Gandhi untuk Tanpa-Kekerasan.

Ayah, Kembalikan Tangan Dita...

Buat semua yang telah menjadi orangtua dan atau calon orangtua.... Ingatlah... semarah apapun, janganlah kita bertindak berlebihan. Sebagai orang tua, kita patut untuk saling menjaga perbuatan kita especially pada anak-anak yg masih kecil karena mereka masih belum tahu apa-apa.
Ini ada kisah nyata yg berjudul "Ayah, kembalikan tangan Dita..."
Sepasang suami isteri --seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini!!!"
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan "Saya tidak tahu... tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?" hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yang membuat gambar itu ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu..." jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum panadol aja," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu.
Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan..." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah. "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah... ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi... Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah... sayang ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti..." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
"Ayah... kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil... Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti...? Bagaimana Dita mau bermain nanti...? Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi," katanya berulang-ulang.
Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf.

Yang terindah

Menjelang hari raya, seorang ayah membeli beberapa gulung kertas kado. Putrinya yang masih kecil, masih balita, meminta satu gulung.
"Untuk apa ?" tanya sang ayah.
"Untuk kado, mau kasih hadiah." jawab si kecil.
"Jangan dibuang-buang ya." pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.
Persis pada hari raya, pagi-pagi si kecil sudah bangun dan membangunkan ayahnya, "Pa, Pa ada hadiah untuk Papa." Sang ayah yang masih malas-malasan, matanya pun belum melek, menjawab, "Sudahlah nanti saja." Tetapi si kecil pantang menyerah, "Pa, Pa, bangun Pa, sudah siang."
"Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Papa."
Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya.
"Hadiah apa nih?"
"Hadiah hari raya untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang."
Dan sang ayah pun membuka bingkisan itu. Ternyata di dalamnya hanya sebuah kotak kosong. Tidak berisi apa pun juga. "Ah, kamu bisa saja. Bingkisannya koq kosong. Buang-buang kertas kado Papa. Kan mahal ?" Si kecil menjawab, "Nggak Pa, nggak kosong. Tadi, Putri masukin begitu buaanyaak ciuman untuk Papa."
Sang ayah terharu, ia mengangkat anaknya. Dipeluknya, diciumnya. "Putri, Papa belum pernah menerima hadiah seindah ini. Papa akan selalu menyimpan boks ini. Papa akan bawa ke kantor dan sekali-sekali kalau perlu ciuman Putri, Papa akan mengambil satu. Nanti kalau kosong diisi lagi ya !"

Kotak kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apa pun, tiba-tiba terisi, tiba-tiba memiliki nilai yang begitu tinggi. Apa yang terjadi?
Lalu, kendati kotak itu memiliki nilai yang sangat tinggi di mata sang ayah, di mata orang lain tetap juga tidak memiliki nilai apa pun. Orang lain akan tetap menganggapnya kotak kosong. Kosong bagi seseorang bisa dianggap penuh oleh orang lain. Sebaliknya, penuh bagi seseorang bisa dianggap kosong oleh orang lain. Kosong dan penuh - dua-duanya merupakan produk dari "pikiran" anda sendiri.
Sebagaimana anda memandangi hidup demikianlah kehidupan anda. Hidup menjadi berarti, bermakna, karena anda memberikan arti kepadanya, memberikan makna kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna, tidak memberikan arti, hidup ini ibarat lembaran kertas yang kosong.

Mengenali tanda-tanda kedewasaan pada diri seseorang

Mortimer R. Feinberg, Ph.D.1
Para ahli psikologi dan psikiater sepakat, bahwa kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini, tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini. Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga. Sesungguhnya apa yang disebut dengan kematangan atau kedewasaan itu?
Kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun, ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan emosi. Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior, serta mempunya kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih baik.
Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandanng kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan-tantangan.
Apa sih kedewasaan/kematangan itu? Menurut kamus Webster, adalah suatu keadaan maju bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi "ke" melainkan "ke arah". Ini berarti kita takkan pernah sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu. Pergerakan maju ini uniq bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan "menjadi" atau state of becoming. Pengertian ini menjelaskan, suatu kasus misal, mengapa seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Mereka dapat menangani banyak proble secara lebih dewasa. Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai kematangan seseorang. Namun, kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan itu di dalam dirinya sendiri, dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Maka, orang yang dewasa/matang adalah:

1 Dia menerima dirinya sendiri

Eksekutif yang paling efektif adalah ia yang mempunyai pandangan atau penilaian baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Ia mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingin orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. Dr. Abraham Maslow berkata, "Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat diusahakannya. Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.

2 Dia mengharagai orang lain

Eksekutif yang efektif pun bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda. Ia dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan memberhentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.

3 Dia menerima tanggung jawab

Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dimana ia berbuat dan berada. Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada atasan untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.

4 Dia percaya pada diri sendiri

Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan keputusan eksekutif, karena percaya pada dirinya sendiri. Ia memperoleh kepuasan yang mendalam dari prestasi dan hal-hal yang dilaksanakan oleh anak buahnya. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya, dan kesadaran bahwa anak buadanya itu tergantung pada kepemimpinannya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing, atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.

5 Dia sabar

Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian.

6 Dia mempunyai rasa humor

Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain.
1Diadaptasi dari "The Effective Psychology for Manager" oleh Mortimer R. Feinberg, Ph.D

Spiritualitas

  1. Saya ingin memahami pemikiran Tuhan; selebihnya adalah soal detail saja.
  2. Pengetahuan tanpa agama adalah pincang. Sedang agama tanpa pengetahuan adalah buta.
  3. Agama saya terdiri dari seuntai kekaguman yang sederhana, terhadap suatu kekuatan supra yang tak-terbatas - yang tertampak dalam rincian yang dapat kita cerap menggunakan persepsi lemah dan remang kita.
  4. Semakin jauh kemajuan evolusi spiritual umat manusia, semakin pasti bagi saya bahwa jalan menuju religiusitas sejati tak semata-mata terletak pada ketakutan terhadap kehidupan, ketakutan terhadap kematian, keyakinan yang membuta, namun suatu perjuangan mengikuti kaidah-kaidah pengetahuan rasional.
  5. Setiap orang yang terlibat secara serius didalam pencarian pengetahuan, menjadi yakin bahwasanya, ada suatu jiwa termanifestasikan pada hukum Semesta raya - jiwa yang secara luas superior terhadap jiwa-jiwa manusia, dan sesuatu dimana dihadapannya, kita beserta kekuatan mutahir kita merasa sedemikian lemahnya.
  6. Rasa religius para ilmuwan berbentuk suatu kekaguman yang mempesona pada keharmonisan hukum alam, yang menampakan suatu superioritas kecerdasan, dibandingkan dengan seluruh sisitematika berpikir dan bertindak dari umat manusia, dalam suatu refleksi signifikan yang tak terbantahkan.
  7. Tiada cara logis untuk mengungkap hukum-hukum elemental. Yang ada hanyalah cara intuitif, yang dibantu oleh suatu ketajaman rasa, terhadap runtutan yang melandasi dibalik suatu penampakan.
  8. Batin intuitif adalah anugrah sakral dan pikiran rasional adalah pelayan setianya. Kita telah membangun sebuah tatanan masyarakat yang memulyakan pelayan dan melupakan anugrah.
  9. Sesuatu yang terindah yang kita alami adalah: pengalaman misterius kita; Ia-lah sumber dari seni dan pengetahuan sejati.
  10. Kita mesti waspada untuk tidak menjadikan intelek sebagai Tuhan kita; ia memang memiliki kekuatan, namun ia tak memiliki kepribadian.
  11. Barang siapa yang memfungsikan dirinya sebagai hakim dari Kebenaran dan Pengetahuan, akan porak-poranda menjadi bahan tertawaan para dewata.
  12. Bila mana jalan keluar terasa mudah, Tuhan-lah yang memberikan jawaban.
  13. Tuhan tidak mempermainkan semesta seperti dadu.
  14. Tuhan sedemikian licinnya, namun Ia tak bermaksud jahat.
  15. Umat manusia adalah bahagian dari keseluran, apa yang kita sebut dengan Semesta, bahagian yang terbatas dalam ruang dan waktu. Ia mengalami diri-Nya sendiri, pikiran dan perasaan-Nya ibarat terlepas dari yang lainnya - yang bersifat seperti khayalan optik - terhadap Kesadaran-Nya. Khayalan ini, sesungguhnya adalah sejenis 'penjara', yang mengekang kita dari nafsu-nafsu keingan pribadi dan dari beberapa orang terdekat kesayangan kita. Tugas kita adalah membebaskan diri dariu penjara ini, dengan cara memperluas lingkaran pengorbanan kita hingga mencakup semua makhluk hidup dan seluruh alam dalam keindahannya.
  16. Tiada sesuatupun yang memberi nilai manfaat pada kesehatan manusia dan memberikan kesempatan hidup di muka Bumi ini, sebesar evolusi yang diberikan oleh pola makan vegetaris.
  17. Manusia yang menjalani hidupnya secara tak bermanfaat bagi makhluk lainnya, bukan saja tak beruntung akan tetapi hampir-hampir tak layak bagi kehidupan.
  18. Perdamaian tidak dapat dijaga dengan Kekuatan. Ia hanya dapat dicapai melalui saling pengertian.
  19. Hanya kehidupan bagi kehidupan lainnya sajalah yang bermanfaat.
  20. Pikiran manusia tak mampu untuk meraih Semesta. Kita ibarat seorang anak yang memasuki perpustakaan raksasa. Dinding-dinding dan langit-lagitnya tertutup rapat oleh buku-buku dalam berbagai bahasa yang berbeda-beda. Si anak mengetahui bahwa pasti ada seseorang yang menulis semua buku-buku itu. Walau ia tak mengetahui siapa dan bagaimana caranya. Iapun tak mengerti bahasa yang digunakan dalam penulisan buku-buku itu. Akan tetapi, si anak mencatat adanya suatu rancangan baku dalam susunan buku-buku tersebut -- dalam urutannya yang misterius yang tak ia pahami, kecuali melalui dugaan-dugaan picisan saja.
  21. Yang terpenting adalah untuk tidak berhenti mempertanyakannya. Keingin-tahuan memiliki alasannya sendiri untuk membangkitkan rasa panasaran. Seseorang tak dapat membantu, kecuali hanya terpesona ketika ia berkontemplasi terhadap misteri-misteri kekalan, terhadap kehidupan, terhadap struktur realitas yang mengagumkan. Adalah cukup bila seseorang mencoba melengkapi dirinya dengan secuil misteri setiap hari. Tanpa kehilangan kekagumannya yang holistik.
  22. Apa yang saya saksikan di Alam adalah suatu struktur yang mengagumkan yang hanya dapat kita pahami dengan tak-sempurna, dimana seorang pemikir semestinya merasa sedemikian rendahnya. Tak ada yang dapat dilakukan terhadap mistikisme, inilah ungkapan rasa religiusitas yang murni.
  23. Emosi terhalus kita, dimana kita mampu merasakannya, adalah emosi mistis. Disinilah tergelar bagian terkecil dari semua seni dan pengetahuan sejati. Siapapun yang asing bagi perasaan ini, yang tak lagi mampu merasakan ketakjuban, dan hidup dalam kondisi ketakutan, sesungguhnya telah mati. Guna mengatahui sesuatu yang tak terselami oleh kita benar-benar ada dan memanifestasikan dirinya sebagai kebijaksanaan tertinggi dan keindahan yang paling bersinar, dimana pengetahuan ini bentuk terkasarnya sekalipun merupakan suatu yang membutuhkan intelektualitas cukup, perasaan ini adalah ... sentimen riligius yang sesungguhnya. Dalam pengertian ini, hanya dalam pengetian inilah, saya menempatkan diri saya dalam deretan manusia-manusia religius besar.
  24. Masalah nyata bagi kita adalah hati dan batin manusia. Adalah lebih mudah mengubah sifat plutonium dibandingkan dengan merubah sifat ke-setan-an dalam diri manusia.
  25. Agama Sejati adalah kehidupan nyata, hidup dalam jiwa manusia, hidup dalam kebajikan dan kebenaran bagi semua.
  26. Intelejensia memberi kejelasan kesaling-tergantungan antara makna-makna dan jawaban akhir daripadanya. Akan tetapi, hanya dengan memikirkannya saja, tak dapat memberikan kita rasa - tentang akhir yang bersifat fundamental dan ultima. Guna memperjelas akhir fundamental dan nilai-nilai serta mempercepat mereka dalam kehidupan emosional individu, dengan persis tertampak oleh saya bahwa fungsi yang paling penting dari agama bila ia berhasil membentuk kehidupan sosial manusia.

Pygmalion

Pygmalion adalah seorang pemuda yang berbakat seni memahat. Ia sungguh piawai dalam memahat patung. Karya ukiran tangannya sungguh bagus. Tetapi bukan kecakapannya itu menjadikan ia dikenal dan disenangi teman dan tetangganya.Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik.
Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, "Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini." Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, "Kikir betul orang itu." Tetapi Pygmalion berkata, "Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu." Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, "Kasihan, anak- anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya."
Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain.
Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah patung wanita dari kayu yang sangat halus. Patung itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah rampung, patung itu tampak seperti manusia betul. Wajah patung itu tersenyum manis menawan, tubuhnya elok menarik. Kawan-kawan Pygmalion berkata, "Ah,sebagus-bagusnya patung, itu cuma patung,bukan isterimu." Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu sebagai manusia betul. Berkali-kali patung itu ditatapnya dan dielusnya.
Para dewa yang ada di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion, lalu mereka memutuskan untuk memberi anugerah kepada Pygmalion,yaitu mengubah patung itu menjadi manusia betul. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan isterinya itu yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani.
Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk menggambarkan dampak pola berpikir yang positif. Kalau kita berpikir positif tentang suatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif. Misalnya, jika kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itu pun akan menjadi ramah terhadap kita. Jika kita memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, akhirnya dia betul-betul menjadi cerdas. Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan upaya dapat merupakan separuh keberhasilan. Dampak pola berpikir positif itu disebut dampak Pygmalion.
Pikiran kita memang seringkali mempunyai dampak fulfilling prophecy atau ramalan tergenapi, baik positif maupun negatif. Kalau kita menganggap tetangga kita judes sehingga kita tidak mau bergaul dengan dia, maka akhirnya dia betul-betul menjadi judes. Kalau kita mencurigai dan menganggap anak kita tidak jujur, akhirnya ia betul-betul menjadi tidak jujur. Kalau kita sudah putus asa dan merasa tidak sanggup pada awal suatu usaha, besar sekali kemungkinannya kita betul-betul akan gagal.
Pola pikir Pygmalion adalah berpikir, menduga dan berharap hanya yang baik tentang suatu keadaan atau seseorang. Bayangkan, bagaimana besar dampaknya bila kita berpola pikir positif seperti itu. Kita tidak akan berprasangka buruk tentang orang lain. Kita tidak menggunjingkan desas-desus yang jelek tentang orang lain. Kita tidak menduga-duga yang jahat tentang orang lain.
Kalau kita berpikir buruk tentang orang lain, selalu ada saja bahan untuk menduga hal-hal yang buruk. Jika ada seorang kawan memberi hadiah kepada kita, jelas itu adalah perbuatan baik. Tetapi jika kita berpikir buruk, kita akan menjadi curiga, "Barangkali ia sedang mencoba membujuk," atau kita mengomel, "Ah, hadiahnya cuma barang murah." Yang rugi dari pola pikir seperti itu adalah diri kita sendiri. Kita menjadi mudah curiga. Kita menjadi tidak bahagia. Sebaliknya, kalau kita berpikir positif, kita akan menikmati hadiah itu dengan rasa gembira dan syukur, "Ia begitu murah hati. Walaupun ia sibuk, ia ingat untuk memberi kepada kita."
Warna hidup memang tergantung dari warna kaca mata yang kita pakai. Kalau kita memakai kaca mata kelabu, segala sesuatu akan tampak kelabu. Hidup menjadi kelabu dan suram. Tetapi kalau kita memakai kaca mata yang terang, segala sesuatu akan tampak cerah. Kaca mata yang berprasangka atau benci akan menjadikan hidup kita penuh rasa curiga dan dendam. Tetapi kaca mata yang damai akan menjadikan hidup kita damai.
Hidup akan menjadi baik kalau kita memandangnya dari segi yang baik. Berpikir baik tentang diri sendiri. Berpikir baik tentang orang lain. Berpikir baik tentang keadaan. Berpikir baik tentang Tuhan. Dampak berpikir baik seperti itu akan kita rasakan. Keluarga menjadi hangat. Kawan menjadi bisa dipercaya. Tetangga menjadi akrab. Pekerjaan menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah, seperti Pygmalion, begitulah."